Bubarkan LSM Pengganggu Ekonomi Indonesia

Ekbis0 Dilihat

Sejumlah kalangan mendesak pemerintah bersikap tegas

dengan membubarkan dan mengusir lembaga swadaya masyarakat (LSM) atau

non government organization (NGO) yang bekerja untuk kepentingan

asing. Sebab LSM itu dalam praktiknya merongrong kedaulatan

negara dan mengganggu ekonomi Indonesia.

 

“Kalau mereka menyinggung atau merongrong kedaulatan ekonomi kita ya

sebaiknya diusir saja. Kita ini negara yang berdaulat, jadi tak bisa

dikendalikan oleh bangsa asing,” ujar Ketua Komisi IV DPR Edhy Prabowo

di Jakarta, kemarin.

 

Edhy Prabowo mengingatkan kepada pemerintah dan aparat penegak hukum

agar bersikap tegas terhadap LSM berkedok lingkungan dan advokasi

sosial yang sepak terjangnya mengganggu perekonomian Indonesia.

Apalagi, kata Wakil Ketua Umum Partai Gerindra ini, mereka kebanyakan

tidak berazaskan Pancasila.

 

“Janganlah mengganggu ekonomi Indonesia. Keberadaan pengusaha ini

sangat penting loh untuk pembangunan. Mereka ini bisa dikatakan

pahlawan bangsa. Bisa mendatangkan devisa, menyerap tenaga kerja,”

katanya.

 

Menurut Edhy, dalam rangka menyelenggarakan pembangunan ini,

diperlukan keberadaan LSM. Namun LSM yang diperlukan adalah yang

memberikan kritik maupun saran yang sifatnya membangun untuk kemajuan

bangsa. Bukan LSM yang sepak terjangnya merongrong kedaulatan negara

atau merugikan kepentingan perekonomian nasional

 

Dalam kesempatan tersebut Edhy juga menyinggung tentang janji LSM yang

bisa mencairkan dana USD1 miliar dari Norwegia. Dana tersebut sebagai

kompensasi moratorium pemberian izin pembukaan hutan dan lahan gambut

sebagaimana termaktub dalam Letter of Intent (LoI) yang diteken

Pemerintah Indonesia dengan Norwegia pada Mei 2010.

 

“Mereka katanya bisa bantu cairkan dana USD1 miliar dari Norwegia itu,

buktinya mana? Sampai sekarang sudah berapa yang dicairkan?,” kata

Edhy.

 

Hal senada kemukakan Anggota Komisi IV DPR Firman Subagyo. “Ini

menjadi salah satu yang perlu kita cermati bahwa NGO-NGO yang menjadi

kepanjangan tangan asing, ini kan jelas bertentangan dengan ideologi

negara yang namanya Pancasila. Karena itu, pemerintah harus tegas,”

kata Firman.

 

Menurut Firman, LSM tersebut berkedok lingkungan maupun advokasi

sosial. Padahal LSM tersebut kepanjangan tangan Barat yang tujuannya

menghancurkan potensi ekonomi Indonesia.

 

“Mereka ini kan biasanya para pengangguran intelek. Mereka dibayar

asing untuk mengobok-obok bangsa dan negaranya sendiri. Mereka disuruh

untuk hancurkan bangsanya sendiri,” tandas Firman.

 

Oleh karena itu, Firman mendesak pemerintah untuk bersikap tegas

dengan cara membubarkan dan mengusir LSM yang bekerja untuk

kepentingan asing tersebut. Apalagi LSM tersebut ditengarai tidak

berazaskan Pancasila sehingga melanggar Undang-Undang No 17 Tahun 2014

tentang Organisasi Kemasyarakatan.

 

Firman mendesak pemerintah untuk menegakkan hukum yang berlaku di

Indonesia. Menurutnya, aparat penegak hukum harus segera melakukan

penyelidikan terhadap organisasi-organisasi perwakilan asing yang

memang tujuannya untuk menghancurkan ekonomi nasional.

 

“Peran BIN dan polisi sangat penting. Hendaknya polisi jangan hanya

menangani soal hiruk pikuk pilkada, tapi persoalan ekonomi juga harus

diperhatikan. Negara ini tidak akan bisa terjamin tanpa adanya ekonomi

yang mapan,” katanya.

 

Ketua Umum Asosiasi Sawitku Masa Depanku (Samade) Tolen Ketaren

mengaku selama ini para petani sawit sangat resah dengan keberadaan

LSM berkedok lingkungan dan advokasi sosial tersebut. LSM tersebut

biasanya meributkan penanaman sawit di lahan gambut.

 

Selain itu, LSM tersebut juga berkamuflase dan mengatasnamakan petani

sawit. Padahal, kata Tolen, mereka itu bukan petani sungguhan. Mereka

bersuara seakan-akan petani sawit, namun sesungguhnya justru

menghancurkan sawit.

 

“Mereka itu kan dibayar Eropa untuk menghancurkan sawit. Karena bunga

matahari yang ditanam di Eropa itu produktivitasnya kalah bersaing

dengan sawit,” kata Tolen yang mengaku memiliki anggota sebanyak

38.000 petani sawit mandiri tersebut.

 

Menurut Tolen, tudingan mengeksploitasi anak-anak yang bekerja di

perkebunan sawit itu juga tidak benar. Sebab, kebiasaan anak-anak di

Indonesia membantu orang tua bekerja di kebun atau sawah itu suatu hal

yang biasa. “Itu bukan bentuk eksploitasi anak, karena itu bagian dari

kebiasaan petani Indonesia,” katanya.

 

Biasanya, kata Tolen, LSM tersebut hanya mengambil sample kecil untuk

menggeneralisasi sawit Indonesia secara keseluruhan. “Misalnya ada

anak-anak mengumpulkan brondolan tandan buah segar (TBS) yang dipanen

di kebun milik orang tuanya. Itu dianalogikan seakan-akan itu terjadi

di seluruh kebun sawit di Indonesia,” kata Tolen. jss